FIKIH AKAD: ANTARA FORMALITAS DAN SUBSTANSI

AL-IRADAH AL-AQDIYYAH DAN SYARAT-SYARAT AQAD
Oleh: H. Misbahul Munir, Lc, M. EI

I. PENDAHULUAN.
Akad merupakan tali ikatan yang menjadi sarana bagi dua belah pihak yang saling berkepentingan dalam rangka mengekspresikan keinginan masing-masing setelah melalui proses ijab dan qabul. Sedangkan proses ijab dan qabul itu sendiri secara umum baik berupa ucapan, tulisan, isyarat dan perbuatan tidak lain merupakan wahana atau sarana dalam rangka mengungkapkan sebuah makna yang dikehendaki oleh pelaku akad yang berupa keinginan (iradah) untuk membuat kesepakatan tertentu dengan orang lain, walaupun sebagian ulama mengartikan makna akad secara lebih luas yang mencakup bentuk keinginan sepihak untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan dampak hukum, seperti sumpah, ibra, dan talak.
Sehingga pada dasarnya, setidaknya ada dua unsur yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku akad. Unsur pertama adalah niat dan iradah (keinginan) sedangkan unsur kedua adalah bentuk ungkapan yang mencerminkan kehendak dan keinginan (iradah) tersebut baik itu berupa ucapan, tulisan maupun isyarat. Adapun hakekat iradah tersebut adalah kehendak yang menjadi dasar bagi diadakannya sebuah akad, karena dengan tanpa adanya kehendak maka tidak akan ada ungkapan sehingga dengan demikian tidak akan ada akad. Sedangkan bentuk ungkapan tersebut hanyalah merupakan perwujudan dan cerminan dari adanya kehendak (iradah) tersebut.
Namun demikian, karena niat dan iradah seseorang adalah perkara yang tersembunyi dan tidak bisa diketahui kecuali dari bentuk ungkapan orang yang bersangkutan, maka secara syara’ kehendak dan niat semata tidak bisa dijadikan sebagai acuan dan pegangan dalam sebuah akad. Sehingga dari sinilah kita melihat arti pentingnya bentuk ungkapan tersebut sebagai sarana dan media yang bisa dijadikan sebagai rujukan dan pegangan terhadap adanya kehendak dari pelaku akad yang bersangkutan. Dari kaedah ini kita juga bisa menyimpulkan bahwa adanya niat dan kehendak semata tidak akan menimbulkan konsekwensi hukum bagi para pelaku akad.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai iradah aqdiyyah dan bentuk ungkapan dari pelaku akad dia atas, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan dua unsur penting dalam akad tersebut dan yang akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang syarat-syarat akad.

II. AL-IRADAH AL-AQDIYYAH.
Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan al-Iradah dengan (القوة المولدة للعقد , yaitu: unsur kekuatan yang bisa melahirkan sebuah akad), sedangkan akad sendiri merupakan bertemunya dua iradah terhadap sesuatu yang mengandung implikasi hukum tertentu.
Secara umum, Iradah Aqdiyyah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama: Iradah Haqiqiyyah atau yang disebut juga dengan Iradah Batinah, yaitu suatu niat dan kehendak dalam hati untuk melaksanakan sebuah akad. Sedangkan Iradah Batinah tersebut dapat terwujud dengan adanya rida dan ikhtiyar dari pelaku akad.
Namun demikian Iradah Batinah semata tidak bisa melahirkan suatu kesepakatan akad tanpa dibarengi dengan bentuk ungkapan iradah tersebut. Sehingga tidak akan terjadi sebuah akad hanya dengan adanya niat semata, walaupun kedua belah pihak saling mengetahui adanya niat di antara mereka. Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat kaedah yang mengatakan:
لا ينسب إلى ساكت قول
“Tidak bisa dinisbatkan sebuah perkataan terhadap orang yang diam”
Dan apabila para ulama mengatakan sah terhadap sebagian bentuk akad yang tanpa diucapkan dalam sebuah lafadh, hal ini disebabkan setelah pelaku akad saling meyakini terhadap terjadinya kesepakatan akad di antara mereka yang bisa diketahui baik dari bentuk ungkapan dzahir maupun dengan qarinah lain yang bisa dijadikan sebagai pengganti bentuk ucapan dalam akad, seperti dalam jual beli mu’atah atau ketika ingin memperpanjang kontrak rumah dengan membayar uang sewa bulanan dengan tanpa diikuti dengan ucapan untuk membatalkan atau memperpanjang kontrak rumah tersebut.
Kedua: Iradah Zhahirah, yaitu bentuk ungkapan atau ibarat yang dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan bentuk Iradah Batinah, baik itu dengan ucapan maupun perbuatan dari seorang pelaku akad atas dasar kemauannya sendiri (mukhtar). Sehingga Iradah Zhahirah tersebut dikatakan sebagai cerminan dari Iradah Batinah, dan dengannya pula suatu akad bisa terlaksana walaupun dengan tanpa mengetahui adanya Iradah Batinah Haqiqiyyah. Dan karena Iradah Batinah tersebut sifatnya tersembunyi, maka Iradah Zhahirah berperan sebagai satu-satunya sarana dalam mengungkapkan Iradah Batinah.
Bentuk ungkapan dalam Iradah Zhahirah juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai qarinah, urf dan adat manusia. Karena qarinah maupun urf tersebut sering kali dijadikan sebagai indikator dalam pelaksanaan akad dan bisa menjadi pengganti atau alternatif dari segala bentuk ungkapan dalam akad, sehingga urf maupun qarinah mempunyai pengaruh besar dalam mengungkapkan iradah batinah selain bentuk ucapan, tulisan maupun isyarat. Seperti dalam akad ijarah dengan tanpa menyebut waktu mulai berlakunya ijarah, maka berarti ijarah tersebut berlaku sejak selesainya proses akad tersebut, atau ketika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membelikan suatu barang maka seorang wakil harus membeli barang tersebut dengan harga yang umum (thaman al-mithl).
A. Suriyyah al-Uqud (Akad formalitas).
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa adanya iradah batinah semata tidak bisa melahirkan sebuah akad. Sehingga dalam akad iradah batinah tersebut harus diungkapkan dalam bentuk iradah zahirah, baik dalam bentuk ucapan, tulisan, isyarat, dan yang semua itu juga tidak lepas dari qarinah maupun urf manusia dalam masalah pengungungkapannya.
Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari sering juga terjadi adanya iradah zahiriyyah dengan tanpa disertai adanya iradah batinah dalam sebuah akad atau yang disebut dalam fikih dengan istilah “suriyyah al-aqd” yang mengandung arti “akad formalitas”, karena secara formal ia melakukan suatu akad, namun hal itu tidak diiringi dengan hakekat akad yang ia lakukan.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ , suriyyah al-aqd dapat terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu sebagai berikut:
Pertama: Keadaan muwada’ah atau taljiah (karena adanya kesepakatan di luar akad), yaitu kesepakatan antara dua belah pihak pelaku akad secara diam-diam bahwa apa yang akan diungkapkan dalam akad hanya merupakan bentuk formalitas sehingga tidak ada konsekwensi hukum terhadap apa yang terkandung dalam akad tersebut.
Adapun bentuk-bentuk muwada’ah tersebut dapat dibedakan menjadi tiga macam:
a. Muwada’ah dalam asal aqad, yaitu bersepakat secara rahasia sebelum akad, bahwa mereka akan mengadakan suatu kesepakatan secara lahiriyyah saja untuk menimbulkan persangkaan kepada orang lain terhadap apa yang dilakukannya dengan maksud-maksud tertentu bagi mereka berdua atau bagi salah satu di antara mereka. Misalnya menjual harta untuk menghindari pembayaran hutang maupun menjual harta untuk menghindari kezaliman penguasa.
Adapun hukum daripada bentuk akad ‘‘akad formalitas” tersebut adalah batil alias tidak sah walaupun secara zahir mereka telah melakukan akad, hal itu karena mereka telah bersepakat sebelumnya bahwa akad yang mereka lakukan adalah bebas dari konsekwensi hukum yang dengan demikian berarti akad tersebut tanpa disertai adanya iradah haqiqiyyah. Namun jika terdapat perselisihan di antara mereka, apakah mereka melakukan akad dengan muwada’ah atau tidak maka akad tersebut dianggap sebagai “akad sungguhan” termasuk ketika dalam proses pengadilan, kecuali pihak kedua bisa membuktikan bahwa akad tersebut adalah akad muwada’ah. Dalam hal ini masing-masing berhak mengaku muwada’ah termasuk pihak ketiga yang dirugikan namun harus disertai dengan bukti, sedangkan yang mengaku bahwa mereka telah melakukan “akad sungguhan”, cukup disumpah bahwa mereka tidak melakukan akad secara muwada’ah.
b. Muwada’ah pada pengganti benda yang dilakukan akad terhadapnya, seperti kesepakatan antara dua belah pihak yaitu pengantin laki-laki dengan wali perempuan untuk menyebut mahar dalam jumlah besar dalam akad nikah, padahal mereka sendiri sebenarnya telah bersepakat pada jumlah yang lebih kecil dari yang disebut dalam akad nikah tersebut, sehingga jumlah yang disebut dalam akad nikah bukan merupakan jumlah yang sesungguhnya bagi mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menunjukkan kemewahan dalam pernikahan seseorang dengan mahar sekian banyaknya. Adapun hukum akad muwada’ah ini adalah sah dengan konsekwensi kesepakatan mereka secara diam-diam, yaitu hanya wajib membayar sesuai yang disepakati sebelum akad nikah, karena hal itu adalah yang sesuai dengan iradah haqiqiyyah.
c. Muwada’ah pada nama orang, atau yang diistilahkan dengan ism musta’ar (nama pinjaman) atau yang disebut juga dengan wakalah sirriyyah (perwakilan rahasia), yaitu seseorang yang secara zahir melakukan akad atas namanya sendiri, namun pada hakekatnya (dalam batinnya) ia melakukan akad tersebut atas nama atau untuk kemaslahatan orang lain. Hal tersebut diketahui setelah ia mengumumkan bahwa semua yang ia akadkan pada hakekanya milik orang lain, sedangkan ia hanya merupakan orang yang dipinjam namanya sehingga dalam hal ini konsekwensi hukum tetap berlaku pada “orang yang mewakilkan namanya” pada orang lain yang dipinjam namanya. Hal itu seperti orang yang mewakilkan akad pada seseorang dengan menggunakan nama orang tersebut dengan harapan akan mempermudah proses terjadinya akad atau akan mendapatkan keistimewaan dengan menggunakan nama orang tersebut.
Kedua: Keadaan bergurau (al-hazl), yaitu akad yang diungkapkan secara main-main (tidak sungguh-sungguh) atau dengan maksud istihza’ (meledek orang lain) sehingga pada hakekatnya ia tidak menginginkan akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya akad tersebut.
Adapun bentuk hazl dalam sebuah akad dapat diketahui dengan salah cara sebagai berikut:
a. ADAKALANYA DENGAN JELAS DISEBUT DALAM AKAD OLEH KEDUA BELAH PIHAK ATAU SALAH SATUNYA, SEPERTI UNGKAPAN: “SAYA PURA-PURA MENJUAL BARANG INI KEPADA KAMU” ATAU “SAYA PURA-PURA MEMBELI BARANG INI DARI KAMU”.
b. Adakalanya dengan muwada’ah yang dijanjikan sebelumnya, seperti kesepakatan mereka bahwa akad yang akan mereka lakukan itu hanya main-main alias tidak sungguh-sungguh.
c. ADAKALANYA PULA BENTUK HAZL TERSEBUT DIKETAHUI DENGAN ADANYA QARINAH-QARINAH YANG MENUNJUKKAN BAHWA AKAD TERSEBUT DILAKUKAN DILAKUKAN SECARA HAZL (MAIN-MAIN) DAN TIDAK DIMAKSUDKAN DENGAN YANG SEBENARNYA.
SEORANG YANG MELAKUKAN AKAD DENGAN SALAH SATU BENTUK DI ATAS DAPAT DISEBUT SEBAGAI AL-HAZIL (ORANG YANG BERGURAI DALAM AKAD) WALAUPUN SEMUA ITU IA LAKUKAN ATAS DASAR KERIDAAN DAN IKHTIYAR DARI DIRINYA SENDIRI, KARENA PADA HAKEKATNYA IA BERGURAI DAN TIDAK MENGINGINKAN ADANYA DAMPAK HUKUM DARI AKAD TERSEBUT. AKAD AL-HAZIL JUGA BISA DISEBUT SEBAGAI “AKAD FORMALITAS” YANG TIDAK DISERTAI DENGAN ADANYA IRADAH HAQIQIYYAH SEHINGGA TIDAK MEMILIKI EFEK HUKUM.
NAMUN KETIKA ADA PERSELISIHAN ANTARA DUA BELAH PIHAK, APAKAH AKAD YANG MEREKA LAKUKAN ADALAH HAZL ATAU “AKAD BETULAN”, MAKA ZAHIR PENDAPAT PARA FUQAHA’ MENGATAKAN BAHWA HAL ITU ADALAH “AKAD SERIUS BETULAN” KARENA SECARA ASAL SEBUAH AKAD DILAKUKAN SECARA SERIUS, SERTA KARENA BERDASARKAN KAEDAH FIQHIYYAH:
إعمال الكلام أولى من إهماله
“BAHWA MENGFUNGSIKAN MAKNA SEBUAH UNGKAPAN LEBIH BAIK DARIPADA MEMBUANG KANDUNGAN MAKNA DARI UNGKAPAN TERSEBUT”

NAMUN SEBALIKNYA, PIHAK LAIN JUGA BERHAK MEMBUKTIKAN BAHWA AKAD YANG IA LAKUKAN ADALAH BENTUK AKAD HAZL SEBAGAIMANA HALNYA DALAM AKAD MUWADA’AH.
DARI KETERANGAN DI ATAS BISA DISIMPULKAN BAHWA SEMUA BENTUK “AKAD FORMALITAS” TIDAK MENIMBULKAN DAMPAK HUKUM BAGI PELAKU AKAD, BAIK DALAM BENTUK MUWADA’AH MAUPUN BENTUK HAZL, KARENA SEMUA ITU TIDAK DISERTAI DENGAN ADANYA IRADAH HAQIQIYYAH. NAMUN ADANYA IRADAH HAQIQIYYAH TERSEBUT TIDAK MENJADI KEHARUSAN DALAM AKAD-AKAD TERTENTU SEPERTI DALAM AKAD NIKAH, TALAK ATAU DALAM MEMERDEKAKAN BUDAK, SEHINGGA APABILA AKAD-AKAD TERSEBUT DILAKUKAN DENGAN MUWADA’AH ATAU HAZL PUN AKAN MEMPUNYAI KONSEKWENSI DAN DAMPAK HUKUM BAGI PELAKU AKAD. HAL TERSEBUT DIDASARKAN PADA SEBUAH HADITH NABI SAW.:
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والعتاق.
“TERDAPAT TIGA MACAM PERKARA DI MANA KESERIUSANNYA ADALAH BENAR-BENAR SERIUS DAN GURAUANNYA PUN DALAM TIGA PERKARA ITU JUGA DIANGGAP SEBAGAI BENTUK KESERIUSAN, YAITU; NIKAH, TALAK DAN MEMERDEKAKAN BUDAK”

B. SULTAN AL-IRADAH.
PADA DASARNYA SYARIAT ISLAM SANGAT MENGHARGAI KEBEBASAN BERGERAK, KEBEBASAN BERKEHENDAK DAN BERTINDAK DALAM MELAKUKAN AKAD. DAN SALAH SATU BUKTI PENGHARGAAN TERSEBUT ADALAH DIJADIKANNYA UNSUR KERIDAAN DARI PELAKU AKAD SEBAGAI PRINSIP UTAMA DALAM SETIAP AKAD, SEHINGGA UNSUR TARADI TERSEBUT MEMBENTUK SEBUAH IRADAH BATINAH HAQIQIYYAH DAN YANG PADA AKHIRNYA MELAHIRKAN IRADAH ZAHIRAH DALAM BENTUK IJAB DAN QABUL YANG JUGA MERUPAKAN CERMINAN DARI ADANYA UNSUR KERIDAAN DARI PELAKU AKAD. PENTINGNYA UNSUR KERIDAAN TERSEBUT TELAH DIJELASKAN BAIK DALAM AL-QUR’AN MAUPUN SUNNAH RASUL SAW.
ياآيها الذين آمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم.
“WAHAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, JANGANLAH KALIAN SALING MAKAN HARTA-HARTA KALIAN SECARA BATIL, KECUALI KALIAN (MENDAPATKANNYA) DENGAN CARA PERDAGANGAN YANG DIDASARKAN PADA KERIDAAN DI ANTARA KALIAN”. (AL-NISA/4: 29)

NABI SAW. JUGA BERSABDA:
إنما البيع عن تراض
“SESUNGGUHNYA JUAL BELI ITU HARUS DIDASARKAN PADA KERIDAAN MASING-MASING”

DENGAN TANPA ADANYA UNSUR TARADI, BERARTI MANUSIA TIDAK BEBAS BERHENDAK DAN BERTINDAK DALAM PROSES PELAKSANAAN AKAD. NAMUN KEBEBASAN MANUSIA DALAM MELAKSANAKAN AKAD MENURUT SYARIAT ISLAM JUGA TIDAK BERSIFAT MUTLAK, AKAN TETAPI DIBATASI PADA AKAD-AKAD YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN NORMA-NORMA YANG TELAH DITETAPKAN OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA. DI SAMPING ITU UNSUR TARADI ADALAH MUTLAK ADANYA DALAM SETIAP AKAD KECUALI DALAM KASUS-KASUS TERTENTU YANG BERKAITAN DENGAN KEADILAN DAN KEMASLAHATAN UMUM, SEPERTI PENJUALAN HARTA YANG DITIMBUN SECARA PAKSA OLEH SEORANG QADI UNTUK KEMASLAHATAN UMUM ATAU PENJUALAN HARTA ORANG LAIN UNTUK MELUNASI HUTANG-HUTANGNYA YANG TIDAK PERNAH DIBAYAR DENGAN TANPA ADA ALASAN.
KAITANNYA DENGAN PEMBAHASAN SULTAN AL-IRADAH, TERDAPAT PERBEDAAN PENDAPAT DI ANTARA PARA ULAMA DALAM MASALAH-MASALAH SEBAGAI BERIKUT:
PERTAMA: KEBEBASAN DALAM MEMBUAT KESEPAKATAN ATAU AKAD BARU YANG TIDAK PERNAH ADA SEBELUMNYA DALAM SYARIAT. DALAM HAL INI GOLONGAN ZAHIRIYYAH BERPENDAPAT BAHWA SETIAP AKAD PADA DASARNYA DILARANG SAMPAI ADA DALIL YANG MEMBOLEHKANNYA. MEREKA ANTARA LAIN BERALASAN BAHWA SYARIAT ISLAM TELAH MENCAKUP SEGALA ASPEK KEHIDUPAN, SERTA KARENA BERDASARKAN SABDA NABI SAW.:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
SEDANGKAN JUMHUR ULAMA MENGATAKAN BAHWA PADA DASARNYA SETIAP AKAD DIPERBOLEHKAN SAMPAI ADA DALIL SYARA’ YANG MELARANGNYA. ALASANYA BAHWA SYARA’ PADA DASARNYA HANYA MENETAPKAN UNSUR RIDA DAN IKHTIAR DALAM AKAD.
KEDUA: KEBEBASAN DALAM MENETAPKAN SYARAT-SYARAT DALAM AKAD.DALAM HAL INIPUN PARA ULAMA JUGA BERBEDA PENDAPAT. GOLONGAN ZAHIRIYYAH MENGATAKAN BAHWA SETIAP BENTUK PERSYARATAN DALAM YANG TIDAK ADA DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH ADALAH BATIL ALIAS TIDAK SAH, KARENA MEREKA MENGATAKAN BAHWA SECARA ASAL MENETAPKAN PERSYARATAN DALAM AKAD ADALAH DILARANG KECUALI YANG TELAH DITETAPKAN OLEH SYARA’ BAIK DALAM AL-QUR’AN ATAU SUNNAH.
SEDANGKAN GOLONGAN JUMHUR ULAMA PADA DASARNYA MENYATAKAN BAHWA SECARA ASAL MENETAPKAN PERSYARATAN DALAM AKAD ADALAH DIPERBOLEHKAN OLEH SYARA’. NAMUN SELANJUTNYA MEREKA JUGA TERBAGI DALAM DUA GOLONGAN DALAM MASALAH TERSEBUT; YAITU GOLONGAN HANABILAH YANG MENYATAKAN BAHWA SECARA ASAL SYARAT AKAD ADALAH MUTLAK, SEHINGGA SETIAP SYARAT YANG TIDAK DINYATAKAN HARAM OLEH SYARA’ ADALAH DIPERBOLEHKAN. SEDANGKAN GOLONGAN SELAIN HANABILAH MENYATAKAN BAHWA SECARA ASAL SYARAT AKAD ADALAH MUQAYYAD, SEHINGGA SETIAP SYARAT YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN SYARA’ ATAU SESUATU YANG LAZIM DALAM AKAD (MUQTADA AL-AQD, SEPERTI SYARAT TIDAK DISERAHKANNYA BARANG DAGANGAN SAMPAI PEMBELI MENYERAHKAN SEMUA HARGA BARANG TERSEBUT) ADALAH DIPERBOLEHKAN. ADAPUN SYARAT YANG BERTENTANGAN DENGAN DUA HAL TERSEBUT ADALAH BATIL.
C. UYUB AL-IRADAH/AL-RIDA
YANG DIMAKSUD DENGAN UYUB AL-IRADAH ADALAH PERKARA-PERKARA YANG BISA MENIMBULKAN CACATNYA KEHENDAK PELAKU AKAD ATAU BAHKAN MENGHILANGKAN SAMA SEKALI UNSUR RIDA DALAM MELAKSANAKAN AKAD. SEHINGGA DALAM MELAKSANAKAN PROSES AKAD TERDAPAT BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN UYUB IRADAH TERSEBUT, KARENA MASING-MASING MEMPUNYAI KONSEKWENSI HUKUM YANG BERBEDA.
ADAPUN BENTUK-BENTUK UYUB IRADAH DALAM SEBUAH AKAD ADALAH:
A. IKRAH ATAU PAKSAAN YANG TERJADI DALAM AKAD. NAMUN PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT TENTANG PENGARUH PAKSAAN TERSEBUT DALAM SEBUAH AKAD. JUMHUR ULAMA MENGATAKAN BAHWA ADANYA IKRAH TERSEBUT MENGAKIBATKAN SUATU AKAD MENJADI BATAL ATAU TIDAK SAH, BAIK DALAM AKAD YANG MENERIMA FASAKH (PEMBATALAN) SEPERTI JUAL BELI, IJARAH, HIBAH ATAU YANG LAINNYA MAUPUN YANG TIDAK MENERIMA FASAKH SEPERTI AKAD NIKAH, TALAK ATAU SUMPAH. HAL YANG DEMIKIAN KARENA UNSUR IKRAH AKAN MENGHILANGKAN UNSUR TARADI DALAM AKAD, SEDANGKAN RIDA SENDIRI ADALAH UNSUR UTAMA DALAM SETIAP AKAD.
SEDANGKAN ULAMA HANAFIYYAH MEMBEDAKAN ANTARA BENTUK IKRAH YANG MENERIMA FASAKH SEPERTI JUAL BELI ATAU IJARAH, MAKA AKAD TERSEBUT MENJADI FASID MENURUT JUMHUR HANAFIYYAH, SEHINGGA SETELAH HILANGNYA PAKSAAN TERSEBUT IA MEMPUNYAI HAK KHIYAR ANTARA MENERUSKAN AKAD ATAU MEMBATALKANNYA. DAN MENURUT ZUFAR DAN ULAMA MALIKIYYAH AKAD TERSEBUT ADALAH MAWQUF SEHINGGA BERLAKUNYA AKAD TERGANTUNG PADA IZIN ORANG YANG BERSANGKUTAN SETELAH HILANGNYA UNSUR PAKSAAN. ADAPUN KALAU TERJADI IKRAH DALAM AKAD YANG TIDAK MENERIMA FASAKH SEPERTI NIKAH ATAU TALAK, ULAMA HANAFIYYAH MENYATAKAN SAH DENGAN ADANYA UNSUR PAKSAAN. HAL ITU KARENA AKAD TERSEBUT BISA MENJADI SAH BAIK DENGAN KEADAAN SUNGUH-SUNGGUH ATAU MAIN-MAIN, SEHINGGA UNSUR PAKSAAN TERSEBUT BISA DIKATEGORIKAN SEBAGAI BENTUK MAIN-MAIN (HAZL) KARENA TANPA DISERTAI DENGAN KEHENDAK YANG SAHIH.
b. GHALAT (KESALAHAN) YANG TERJADI PADA OBYEK AKAD, YAITU APABILA PELAKU AKAD MENDAPATI OBYEK AKAD TIDAK SEPERTI YANG IA KEHENDAKI DALAM AKAD BAIK DALAM JENIS MAUPUN SIFATNYA, SEPERTI ORANG YANG INGIN MEMBELI PERHIASAN DARI EMAS, NAMUN KENYATAANNYA IA MENDAPATINYA TERBUAT DARI BESI. SEHINGGA HUKUM DARI AKAD TERSEBUT ADALAH BATAL KARENA TIDAK SESUAI DENGAN MAHAL AL-AQD YANG DIINGINKAN SI PEMBELI.
c. TADLIS (TIPUAN) ATAU TAGHRIR (MEMBUJUK, MEMPERDAYAKAN).
YANG DIMAKSUD TADLIS ADALAH MENYEMBUNYIKAN CACAT BARANG SEPERTI DALAM JUAL BELI DAN SEWA MENYEWA. MISALNYA BARANG YANG DIJUAL ADA YANG RUSAK NAMUN TIDAK DIBERITAHUKAN KEPADA PEMBELI. SEDANGKAN TAGHRIR ADALAH USAHA UNTUK MEMBUJUK ATAU MEMPERDAYA ORANG LAIN SUPAYA MELAKUKAN AKAD TERTENTU UNTUK KEMASLATANNYA, PADAHAL PADA HAKEKATNYA TIDAKLAH DEMIKIAN. TAGHRIR INI ADAKALANYA PADA HARGA YANG DINAMAKAN DENGAN TAGHRIR QAWLI DAN ADAKALANYA PADA CARA PENYIFATAN SEBUAH BENDA ATAU YANG DINAMAKAN DENGAN TAGHRIR WASFY. DAN APABILA TADLIS ATAUPUN TAGHRIR TERSEBUT TERJADI, MAKA PIHAK YANG TERTIPU BERHAK MEMILIH (KHIYAR) ANTARA MERUSAK AKAD ATAU MENERUSKANNYA, BAIK BENTUK PENIPUAN TERSEBUT DIKETAHUI OLEH SALAH SATU PELAKU AKAD SENDIRI MAUPUN OLEH ORANG LAIN YANG MEMBERI TAHU ADANYA TIPUAN TERSEBUT PADANYA.
d. GHABN FAHISY. SECARA BAHASA GHABN ADALAH AL-NAQS ATAU KURANG. SEDANG YANG DIMAKSUD DENGAN GHABN DALAM ISTILAH FIKIH ADALAH APABILA TERJADI TIDAK KESEPADANANAN ANTARA DUA BARANG YANG MENJADI OBYEK TRANSAKSI, SEPERTI SUATU BARANG YANG DIHARGAI LEBIH MAHAL ATAU LEBIH MURAH DARI YANG SEMESTINYA. SEDANGKAN GHABN TERSEBUT DIBEDAKAN MENJADI DUA, YAITU GHABN YASIR (GHABN YANG WAJAR) DAN GHABN FAHISY (GHABN YANG PARAH). ADAPUN BILA TERJADI GHABN YASIR DALAM AKAD, MAKA TIDAK BERPENGARUH DALAM AKAD SEHINGGA TIDAK ADA FASAKH DALAM AKAD, KARENA HAL ITU SANGAT SULIT UNTUK DIHINDARI DAN SERING TERJADI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI. SEDANGKAN APABILA TERJADI GHABN FAHISY MAKA TERDAPAT PERBEDAAN DI ANTARA PARA ULAMA. HANAFIYYAH MENGATAKAN BAHWA ADANYA GHABN FAHISY SEMATA TANPA DISERTAI TAGHRIR TIDAK AKAN MEMPENGARUHI AKAD SEHINGGA TIDAK ADA FASAKH, DAN ADA FASAKH BILA DISERTAI DENGAN TAGHRIR. SEDANG MENURUT HANABILAH GHABN FAHISY SEMATA BISA MENJADIKAN FASAKH DALAM AKAD WALAUPUN TIDAK DISERTAI DENGAN TAGHRIR. DAN SYAFIIYYAH MENYATAKAN BAHWA TIDAK ADA FASAKH BILA TERJADI GHABN FAHISY BAIK DISERTAI TAGHRIR ATAU TIDAK.

MAKNA FILOSOFIS DARI IRADAH ‘AQDIYYAH
PEMBAHASAN TENTANG IRADAH ‘AQDIYYAH TERSEBUT DI ATAS SETIDAKNYA MEMBERIKAN NUANSA FILOSOFIS HUKUM BAGI KITA YANG DI ANTARANYA ADALAH: BAHWA KALAU DI DALAM NASH-NASH AGAMA DINYATAKAN BAHWA MANUSIA DICIPTAKAN OLEH ALLAH DALAM KEADAAN BEBAS DAN MERDEKA SECARA FITRAH, HAL TERSEBUT DALAM ISLAM BUKAN HANYA MERUPAKAN TEORI ATAU SLOGAN, AKAN TETAPI KEMERDEKAAN DAN KEBEBASAN MANUSIA TERSEBUT MENJADI PRINSIP DASAR BAGI PRAKTEK MU’AMALAH KITA SEHARI-HARI. HAL TERSEBUT TERCERMIN DARI SETIAP AKAD YANG KITA LAKUKAN HARUS DISERTAI DENGAN KEHENDAK (IRADAH) SERTA KERIDAAN DARI MASING-MASING YANG BERSANGKUTAN SEHINGGA TIDAK AKAN TIMBUL PAKSAAN, PENIPUAN DAN SEGALA BENTUK EKPLOITASI TERHADAP PIHAK LAIN. IRADAH YANG MERUPAKAN MANIFESTASI KEBEBASAN MANUSIA JUGA TIDAK BISA DILEPASKAN DARI UNSUR TARADI, KARENA MANUSIA MERDEKA TIDAK AKAN BERKEHENDAK KECUALI APA YANG IA RIDA TERHADAPNYA. DAN UNTUK MEMUDAHKAN MANUSIA DALAM MENGEKSPRESIKAN KEHENDAKNYA ITU DIJADIKANLAH BENTUK-BENTUK UNGKAPAN DALAM AKAD (DALAM BENTUK IJAB DAN QABUL) YANG SEKALIGUS MENJADI CERMIN ADANYA SALING TARADI SEHINGGA MASING-MASING AKAN TERCAPAI TUJUANNYA DALAM MEMENUHI KEBUTUHANNYA.
BEGITU JUGA SEBALIKNYA, KETIADAAN IRADAH ‘AQDIYYAH AKAN MENIMBULKAN YANG NAMANYA ‘UYUB IRADAH (KECACATAN DALAM KEINGINAN TRANSAKSI). DIKATAKAN ‘UYUB IRADAH KARENA PADA HAKEKATNYA IA MEMILIKI IRADAH DALAM AKAD SEHINGGA TERJADI KESEPAKATAN AKAD ANTARA DUA BELAH PIHAK, NAMUN KESEPAKATAN ITU TERLAKSANA TIDAK DISERTAI DENGAN UNSUR KERIDAAN TERHADAP MA’QUD ‘ALAIH. UNTUK ITU SYARA’ MENGHARUSKAN SEMUA BENTUK TRANSAKSI DILAKUKAN SECARA SUKA RELA, SEDANGKAN SUKA RELA TERSEBUT HARUS DIDASARKAN PADA UNSUR TRANSPARANSI.. TRANSPARANSI DALAM OBYEK TRANSAKSI (MA’QUD ‘ALAIH) MENJADI SANGAT PENTING KARENA KETIADAAN UNSUR TRANSPARANSI BISA MENIADAKAN UNSUR SUKA RELA DALAM SEBUAH AKAD.

III. SYARAT-SYARAT AQAD
DALAM ISTILAH FIKIH SYARAT DIDEFINISIKAN DENGAN:
ما يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم
“SESUATU YANG DENGAN TANPA ADANYA AKAN MENJADIKAN SESUATU TIDAK AKAN ADA, AKAN TETAPI ADANYA SESUATU TERSEBUT TIDAK AKAN MEMPENGARUHI ADANYA SESUATU MAUPUN KETIADAANNYA”

ATAU BISA JUGA DIKATAKAN:
ما لا يتم الشيء إلا به ولا يكون داخلا في ماهيته
“SEGALA SESUATU YANG MENJADIKAN TIDAK SEMPURNANYA SUATU PERBUATAN KECUALI DENGANNYA, NAMUN IA DI LUAR HAKEKAT SESUATU TERSEBUT”.

HAL TERSEBUT SEPERTI TAHARAH YANG MENJADI PERSYARATAN DALAM SAHNYA SEBUAH SALAT NAMUN DEMIKIAN IA BUKAN MERUPAKAN BAGIAN SALAT ITU SENDIRI. ADAPUN MACAM-MACAM SYARAT DALAM AKAD DAPAT DIBEDAKAN SEBAGAI BERIKUT:

A. SYARAT-SYARAT TERJADINYA AKAD (IN’IQAD AL-AQD)
YAITU SYARAT-SYARAT YANG DENGANNYA AKAN MENJADIKAN SAHNYA DZAT SEBUAH AKAD SECARA SYARA’ DAN TANPA DENGANNYA SEBUAH AKAN MENJADI BATAL. SYARAT-SYARAT TERJADINYA AKAD SENDIRI JUGA DIBEDAKAN MENJADI DUA, YAITU SYARAT-SYARAT UMUM YANG HARUS ADA DALAM SETIAP AKAD, DAN SYARAT-SYARAT KHUSUS YANG BERLAKU PADA SEBAGIAN AKAD DAN TIDAK BERLAKU PADA AKAD LAINNYA SEPERTI PERSYARATAN ADANYA DUA SAKSI DALAM AKAD NIKAH DAN LAIN-LAIN.
ADAPUN SYARAT-SYARAT UMUM PADA SETIPA AKAD ANTARA LAIN ADALAH:
1. ADANYA AHLIYYAH DARI PELAKU AKAD
2. ADANYA OBYEK AKAD (MAHAL AL-AQD) YANG BISA DIAKADI, SEHINGGA TIDAK ADA AKAD JUAL BELI HARTA WAKAF (KECUALI DALAM KEADAAN TERTENTU)
3. AKAD TERSEBUT TIDAK DILARANG DAN TIDAK DIANGGAP BATAL OLEH SYARA’, SEPERTI MENYEWA ORANG UNTUK BERBUAT MAKSIAT, JUAL BELI MINUMAN KERAS DAN LAIN-LAIN
4. TERPENUHINYA SYARAT-SYARAT KHUSUS YANG ADA DALAM AKAD SEPERTI ADANYA DUA SAKSI DALAM NIKAH.
5. AKAD HARUS MEMPUNYAI IMPLIKASI MANFAAT DAN FAEDAH, SEHINGGA TIDAK TERJADI AKAD DALAM SUATU PERKARA YANG TIDAK MENGANDUNG MANFAAT SEPERTI MELAKUKAN AKAD UNTUK MENJALANKAN SESUATU YANG TELAH DIWAJIBKAN OLEH SYARA’, SEPERTI MENYEWA ORANG LAIN UNTUK MELAKUKAN KEWAJIBAN AGAMA SEPERTI SALAT FARDU ATAU AKAD UNTUK TIDAK MELAKUKAN TINDAKAN KRIMINAL.
6. TIDAK ADA YANG MEMBATALKAN IJAB SEBELUM TERJADINYA QABUL, SEPERTI WAFAT ATAU HILANGNYA AHLIYYAH DARI PIHAK PERTAMA SEBELUM ADANYA QABUL DARI PIHAK KEDUA.
7. BERSATUNYA PELAKU AKAD DALAM SATU MAJLIS. YANG DIMAKSUD DENGAN BERSATUNYA MAJLIS DI SINI TIDAK HARUS BERUPA TEMPAT, NAMUN BISA JUGA BERUPA SUATU KEADAAN DI MANA KEDUA BELAH PIHAK BISA MELAKSANAKAN AKAD , SEHINGGA DIANGGAP TIDAK BERSATU DALAM MAJLIS LAGI JIKA TIDAK ADA TINDAK LANJUT DALAM IJAB. KARENA PRINSIP DASAR ADANYA MAJLIS AKAD SENDIRI ADALAH UNTUK MEMBERIKAN KESEMPATAN WAKTU BERPIKIR DAN MENIMBANG DARI PIHAK LAIN SEBELUM MENYATAKAN QABUL. SEBAGAI CONTOH, KETIKA ORANG MELAKUKAN AKAD LEWAT SURAT MAKA WAKTU IJAB BARU DIMULAI KETIKA PIHAK KEDUA MEMBACA SURAT TERSEBUT SEHINGGA APABILA SETELAH ITU IA MENYATAKAN QABUL MAKA TERJADILAH AKAD.

B. SYARAT-SYARAT SAH AQAD
YAITU SYARAT-SYARAT BAGI TERCAPAINYA KONSEKWENSI AKAD SECARA SYARA’, DAN APABILA TIDAK TERPENUHI MAKA AKADNYA MENJADI FASID (RUSAK) ATAU CACAT DARI SISI TERTENTU TAPI TIDAK SAMPAI MEMBATALKAN AKAD. ULAMA HANAFIYYAH MEMBEDAKAN PENGARUH SYARAT SAH YANG TERJADI DALAM IBADAH DAN MUAMALAH. DALAM IBADAH MEREKA BERPENDAPAT BAHWA TANPA DIPENUHINYA SYARAT SAH, SUATU IBADAH MENJADI FASID DAN SEKALIGUS BATAL. TAPI DALAM MUAMALAH MEREKA HANYA MENGANGGAP RUSAK TAPI AKAD TERSEBUT TIDAK BATAL. MEREKA MENGANGGAP BATALNYA AKAD DALAM MUAMALAH HANYA KETIKA TIDAK TERPENUHI RUKUN-RUKUNNYA.
PADA UMUMNYA SYARAT SAH AKAD BERLAKU KHUSUS PADA SETIAP AKAD TERTENTU DAN TIDAK BERLAKU SECARA UMUM, SEPERTI SYARAT SAH DALAM JUAL BELI MENURUT HANAFIYYAH DISYARATKAN SELAMAT DARI SESUATU YANG MENGAKIBATKAN AKAD MENJADI CACAT SEPERTI JAHALAH, IKRAH, GHARAR, DLARAR, BATASAN WAKTU DALAM JUAL BELI ATAU NIKAH DAN SYARAT FASID.

C. SYARAT-SYARAT BERLAKUNYA AQAD (NAFADH)
YAITU SYARAT-SYARAT BAGI BERLAKU DAN DILAKSANAKANNYA HASIL AKAD. ADAPUN SYARAT-SYARAT TERSEBUT ADALAH:
a. Adanya kepemilikan, yaitu obyek akad harus merupakan milik pelaku akad, sehingga tidak dilaksanakan hasil akad fuduli karena yang bersangkutan tidak memilikinya.
b. ADANYA WILAYAH. ADAPUN YANG DIMAKSUD WILAYAH ADALAH KEKUASAAN YANG DITETAPKAN OLEH SYARA’ KEPADA SESORANG SEHINGGA IA BOLEH MELAKUKAN AKAD DAN MELAKSANAKAN HASIL AKAD TERSEBUT. ADAPUN BENTUK WILAYAH DI SINI BISA BERUPA ASLIYYAH ATAU NIYABIYYAH. DAN APABILA IA MELAKUKAN AKAD DENGAN TANPA ADA WILAYAH MAKA AKADNYA MENJADI MAWQUF DAN TIDAK BISA DILAKSANAKAN KECUALI DENGAN IZIN ORANG YANG MEMPUNYAI WILAYAH ATASNYA, SEPERTI AKADNYA ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH.
c. Tidak adanya hak orang lain dalam obyek akad (mahal al-aqd). Dan apabila terdapat hak orang lain dalam obyek akad maka menjadi mawquf alias membutuhkan izin kepada yang bersangkutan. Seperti menjual seekor sapi yang menjadi milik dua orang atau lebih secara sepihak.


D. Syarat-Syarat Ketetapan Aqad (Luzum)
Yaitu syarat-syarat bagi akad sehingga telah menjadi ketetapan dan mengikat kedua belah pihak. Artinya, salah satu yang melakukan akad tidak dapat melepaskan diri dari ikatan selama mereka berdua belum sepakat untuk iqalah, karena akad yang telah dilakukan merupakan ikatan atau pengikat yang mengikat kedua belah pihak.
Hal ini karena bisa saja sebuah akad telah dianggap sah dan berlaku bagi kedua belah pihak namun belum mengikat dan belum mempunyai ketetapan. Memang secara asal dalam setiap akad adalah mengikat dan mempunyai ketetapan. Namun hal itu disyaratkan apabila akad yang dilakukan tanpa disertai sebelumnya dengan khiyar bagi pelaku akad untuk membatalkan akadnya, baik itu khiyar syart, khiyar ‘aib maupun khiyar ru’yah. Sehingga apabila sudah tidak ada khiyar, akad baru menjadi mengikat dan memiliki ketetapan bagi kedua belah pihak.

Makna Filosofis Syarat-Syarat Akad
Dari pembahasan berbagai macam syarat di atas dapat diambil sebuah falsafah hukum bahwa kalau disyariatkannya suatu akad dalam Islam pada dasarnya untuk memudahkan manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya, maka syarat-syarat tersebut merupakan aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam rangka mencapai suatu tujuan sehingga terhindar dari segala bentuk kemadlaratan yang akan timbul pada salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Dan hal tersebut juga sejalan dengan tujuan dilaksanakannya sebuah akad, yaitu untuk kemaslahatan kedua belah pihak.
Memang kalau sekilas kita lihat dari beberapa bentuk syarat-syarat akad yang banyak ragamnya di atas dan yang harus dipenuhi dalam sebuah transaksi, maka hal itu lebih terkesan sangat memberatkan bagi pelaku akad. Namun hal itu sebenarnya bukan yang dimaksudkan oleh syara’, syarat-syarat akad sebenarnya tidak lebih sebagai sarana untuk mengamankan dalam rangka mencapai kemaslahatan yang akan didapatkan dari transaksi itu sendiri. Dan kalaupun syarat-syarat akad tersebut dikatakan sebagai bentuk keberatan dalam syariat (dharar), maka dalam kaedah fikih sendiri juga disebutkan bahwa:
يتحمل الضرر القليل من أجل النفع الأكبر
“Bahwa untuk mencapai sebuah kemaslahatan yang lebih besar, terkadang harus disertai dengan sedikit kesusahan atau kepayahan”.

Atau kalau dalam istilah kedoteran, kepahitan sebuah obat adalah bukan merupakan sebuah tujuan yang diinginkan oleh seorang dokter akan tetapi merupakan sarana dan jalan untuk menuju kepada sebuah proses penyembuhan dan kesehatan bagi seorang pasien.

IV. PENUTUP
Islam sangat menghargai kebebasan berkehendak dalam membentuk suatu akad dengan menjadikan keridaan sebagai sendi dan landasan utamanya. Namun karena iradah dan taradi adalah unsur akad yang tersembunyi, maka akad tidak bisa terlaksana hanya dengannya. Sehingga dalam pelaksanaannya, fikih mengatur agar iradah batinah tersebut diungkapkan dalam bentuk iradah zhahirah dalam proses ijab-qabul dengan mengesampingkan uyub iradah dan uyub rida yang bisa merusak akad itu sendiri.
Selanjutnya, untuk mengamankan dan menjamin pelaksanaan sebuah akad, syara’ menetapkan syarat-syarat baik berupa syarat in’iqad, syarat sah, syarat nafadz maupun syarat luzum. Adanya berbagai macam persyaratan tersebut menunjukkan pada kita bahwa sebuah akad harus melalui proses dan tahapan-tahapan sehingga mempunyai konsekwensi hukum yang mengikat. Semua itu ditetapkan oleh syara’ demi kemaslahatan bersama dan dalam rangka mengantisipasi adanya kemadlaratan yang timbul dari sebuah akad.
Berkaitan dengan kebebasan berhehendak, syara’ juga menjamin kemerdekaan pihak-pihak yang melakukan akad untuk menentukan syarat-syarat tambahan yang disebut dengan syarat ja’li (syarat buatan manusia) yang diperlukan selain syarat-syarat syar’i yang ada selagi tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah agama. Hal itu dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’ dipandang belum mencukupi dalam rangka mencapai kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Dan di sinilah hikmah dari keluwesan dan kemudahan syariah Islam bisa kita temukan.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur an Al-Karim
Al-Jurjawi, Ali. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Al-Khafif, Ali. Ahkam al-Mu’amalat al-Syar’iyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1987.
Al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah wa al-Nadhair. Kairo: Dar al-Salam, 2000.
al-Zarqa’, Mustafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am vol. I. Damaskus: Matabi’ al-Adib, 1967.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. vol. 7. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997.
Ash-Shiddiqy, Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,1989.
Musa, Kamil. Ahkam al-Mu’amalat. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Qal’aji, Muhammad Rawwas. Mabahith fi al-Iqtisad al-Islami. Beirut: Dar al-Nafais, 1997.